Selective Buying untuk Menghadapi Bear Market

Apa kesan yang timbul di benak orang jika mendengar kata bear dalam konteks dunia keuangan? Meskipun digunakan dalam beberapa konsep yang sedikit banyak berbeda, tetapi kata bear menimbulkan dua konotasi : penurunan dan penjualan. Mengapa nama binatang ini digunakan di dunia investasi dan untuk menggambarkan konsep apa saja?

Menurut Eric Tyson dalam bukunya Investing for Dummies, penggunaan kata bear dalam dunia investasi adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam transaksi kulit beruang di AS. Di sana umumnya pemburu sudah menjual kulit beruang sebelum menagkap binatang tersebut. Di pasar modal, bear digunakan untuk menyebutkan investor yang menjual saham yang tidak dimilikinya. Dalam hal ini bear identik dengan short seller.

Istilah bear juga berarti penurunan. Misalnya dalam frasa bear market. Dalam pengertian klasik, bear market (pasar beruang) adalah waktu ketika harga saham menurun secara mantap untuk periode beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun. Secara tradisional, di AS bursa dikatakan bear market kalau ada penurunan Dow Jones industrial Average (DJIA) sebasar 20% atau lebih dari ketinggian sebelumnya dan tidak pulih selama setidaknya dua bulan.

Bear market juga diartikan sebagai sebuah tren penurunan panjang di semua pasar finansial, khususnya pasar modal, yang ditandai dengan adanya titik terendah dan titik puncak tetapi masih di bawah level sebelum bear market. Namun harap diingat bahwa wartawan atau analis saham sering menyebut semua koreksi atau penurunan pasar dengan istilah bearish (seperti beruang). Ini karena ketika beraksi beruang akan bergerak dari berdiri menjadi menunduk. Ini lawan dari bullish, dimana sapi jantan menanduk ke atas kalau beraksi.

Umumnya bear market berlangsung hanya beberapa bulan, tetapi mungkin juga selama beberapa tahun. Di AS, bear market yang penting dicatat adalah yang berlangsung antara Oktober 1929 ke Juli 1932. Pasar berunag ini tercipta menyusul adanya crash pada Oktoner 1929. Sebetulnya, pada Oktober 1987 bursa efek AS juga mengalami crash, di masa indeks dalam satu hari turun 554 poin, penurunan harian paling tajam yang pernah terjadi di sejarah pasar modal AS sampai waktu itu. Namun crash 1987 tidak diikuti oleh pasar beruang. Karena setelah crash harga saham cepat pulih dan melanjutkan arah tren sebelumnya.

Peluang di Pasar Beruang

Dengan definisi manapun di atas, maka apa yang terjadi di pasar modal Indonesia setelah bulan Juli 1997 sampai Juli 2000 memenuhi kriteria sebagai pasar beruang. Situasi ini mirip dengan apa yang terjadi di AS selama depresi besar. Situasi ini ditandai dengan ambruknya lembaga keuangan dan bangkrutnya bisnis.

Selama masa bearish ini harga saham di BEJ, sebagaimana terlihat dari IHSG, turun dari titik tertinggi sepanjang sejarah 740,83 poin yang dicapai tanggal 8 Juli 1997 dan mencapai titik dasar (bottom) sebesar 256,25 poin pada September 1998. Tetapi penurunan ini tidak menyurutkan minat investor bertransaksi. Sebaliknya, transaksi cenderung meningkat, dari baik segi frekuensi, nilai, dan volume. Volume transaksi selama semester II/1997 misalnya naik 40% dari semester pertama. Memasuki 1998, volume transaksi terus meningkat sampai bulan Mei, ketika Tragedi Trisakti Mei 1998 menyurutkan investor untuk bertransaksi.

Selain itu, di pasar yang bearish tetap menjanjikan potensial gain. Peluang memperoleh gain terbuka, sebagian justru karena adanya kemerosotan harga. Ketika harga saham berada di level Rp 300 maka kenaikan 1 poin (25 rupiah) berarti 8,33%. Dengan demikian kenaikan satu atau dua poin cukup menjadi alasan bagi investor untuk merealisasi gain. Artinya, dalam situasi bearish tersebut investor cenderung mengambil teknik bermain saham dalam jangka pendek, atau sangat pendek. Ini juga menjelaskan mengapa volume transaksi meningkat selama pasar beruang.

Namun ada sisi negatif dari kondisi di atas : transaksi saham yang bernilai kecil menjadi tidak aktif. Kalau ada saham dengan harga Rp 100, maka kenaikan satu poin akan berarti sudah berubah 25%. Kalau harga saham tersebut naik 2 poin, maka sudah 50% dan hal ini dapat mengaktifkan system auto-halting yang dipasang pengelola bursa. Untuk kembali mendorong transaksi, sejak Juli 2000 pengelola bursa menerapkan fraksi harga saham baru sebesar Rp 5. Dengan demikian penurunan fraksi harga ini diharapkan transaksi saham bernilai rendah akan kembali mulus.

Sementara itu, investor lembaga yang memiliki time horizon jangka panjang, seperti reksadana, menyiasati kondisi di pasar beruang itu dengan mengubah portofolio. Mereka mulai menjual saham sektor industri yang melemah fundamentalnya dan membeli saham dengan fundamental kuat. Saham – saham yang melemah fundamentalnya selama krisis antara lain sektor perbankan, properti, dan jasa keuangan. Sebaliknya mereka membeli saham yang diperkirakan mampu bertahan selama krisis atau bahwa bisa berkembang.

Saham pilihan di masa krisis moneter ini adalah saham-saham yang mempunyai struktur keuangan yang kuat, atau saham emiten yang memikili arus cash flow yang masih bagus, seperti retailer, produk barang konsumsi. Logikanya sederhana, meskipun krisis permintaan akan produk emiten ini tetap dibutuhkan. Namun yang menjadi bintang saat itu adalah sektor perkebunan dan pertambangan, yang diuntungkan oleh adanya krisis moneter. Saham – saham ini umumnya mengekspor produknya dan karena adanya depresiasi rupiah pada waktu itu laba melonjak tajam.

Caveat Emptor

Penurunan harga saham selama pasar berunag tidak menghapus peluang memperoleh gain. Dengan strategi investasi tertentu peluang investor masih mungkin memperoleh gain. Kuncinya dalam hal ini adalah seleksi saham dan teknik tradingnya. Pendekatannya yang cocok digunakan dalam seleksi asset selama masa – masa sepeti ini adalah apa yang dinamakan pendekatan bottom-up fundamental. Inti dari pendekatan ini adalah memilih saham yang potensial dengan langsung menganalisa fundamental saham. Pendekatan ini berbeda dengan top-down fundamental di mana seleksi saham dimulai dari kondisi makro ekonomi, kemudian menukik ke sektor yang potensial yang dan baru ke emiten dari sektor yang sama.

Pilihan yang paling jelek dalam situasi seperti ini adalah saham yang mempu bertahan selama krisis sambil menunggu kondisi makro menjadi stabil. Saham yang mampu bertahan di masa sulit akan mudah berkembang di masa normal. Namun demikian, masa penantian ini dapat menjadi panjang karena krisis yang berkepanjangan. Menunggu terlalu lama dapat mengarah pada hilangnya peluang memperoleh hasil investasi. Pilihan yang lebih baik adalah saham yang tetap berkembang selama krisis. Jelas untuk memilih saham selama pasar berunag adalah dengan melakukan analisa fundamental.

Peluang memperoleh gain juga bisa terbuka bagi mereka yang melakukan trading untuk jangka pendek. Namun seperti dialami banyak investor pada waktu itu, informasi seputar emiten menjadi penting. Misalnya perusahaan yang akan dilikuidasi. Sering kali investor public terlambat memperoleh informasi tentang emiten yang akan dilikuidasi. Bahkan saham yang semula dilaporkan mendapatkan laba, tetapi tidak lama berselang perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut karena mengalami kerugian.

0 comments: