Membeli Saat Darah Tumpah di Jalan

Di dunia invetasi Barat ada strategi yang berbungi “Buy when there is blood in the street”. Intinya, strategi ini menganjurkan investor untuk membeli saham saat harganya menukik tajam. Strategi ini masuk akal adan banyak professional dan individual sering memndang penurunan tajam pasar modal sebagai peluang beli. Sebanarnya, ini dapat menjadi strategi yang berbahaya.

Pelajaran dari Krisis

Crash 1929 yang disertai dengan depresi ekonomi beberapa tahun sesudahnya dan anjloknya IHSG selama krisis moneter bukanlah waktu yang baik untuk menerapkan strategi “membeli ketika ada darah di jalanan”. Masalah ekonomi serius, yang menyertai penurunan harga saham, mendorong pasar untuk lebih tajam lagi dan memerlukan waktu yang lama untuk bisa pulih. Lamanya proses pemulihan terjadi karena masalah yang dihadapi tidak dapat dengan mudah dibetulkan karena pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki hilang tersapu oleh krisis tersebut.

Masa depresi di AS dan krisis moneter di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada interupsi pertumbuhan ekonomi.Dan kemakmuran yang dicapai penduduk tidaklah permanen. Sejumlah kekayaan keluarga hilang di pasar modal sepanjang bencana ekonomi tersebut, ketika banyak orang percaya bahwa mereka membeli saham pada harga sangat rendah. Setiap kali mereka mengira bottom telah tercapai dan mulai membeli, pasar turun lagi.

Kekayaan orang hilang tidak hanya di pasar modal, tetapi di perbankan juga. Pada waktu itu, banyak bank tutup di seluruh negara kaena banyak perusahaan peminjam yang bangkrut karena krisis. Akibatnya, banyak simpanan masyarakat menguap. Pada waktu itu, di AS belum ada program penjaminan bagi simpanan di bank oleh pemerintah federal. Akibatnya, banyak orang kaya lebih suka menyimpan dananya di bawah bantal untuk menjaga agar tidak hilang.

Crash yang Memberikan Peluang

Ada kalanya, memang penurunan harga saham secara tajam (crash) memberi peluang yang bagus bagi investor. Misalnya, crash yang terjadi pada Oktober 1987. Pada hari itu, Senin 19 Oktober 1987, indeks DJIA turun sebesar 508 poin atau 23%, tertinggi sepanjang sejarah DJIA sampai waktu itu. Pada hari trading sebelumnya, Jumat 16, indeks sudah turun 108 poin. Namun demikian, setelah itu harga saham bisa pulih dengan cepat. Kasus seperti ini mirip dengan penurunan IHSG yang tajam menyusul wafatnya Ibu Tien Soeharto dan Peristiwa 27 Juli, yang dengan cepat kembali pulih ke level smeula dan terus meleset naik.

Caveat Emptor

Kondisi bursa menjelang crash biasanya didahului dengan adanya bull market. Menjelang crash 1929 dan crash 1987, misalnya, terjadi setelah NYSE mengalami bull market selama 10 tahun. Beberapa hari menjelang crash, harga saham mencapai angka tertinggi untuk kedua kasus ini. Begitu juga dengan BEJ mencatat IHSG tertinggi sepanjang sejarah menjelang dilanda krisis moneter. Yang membedakan crash 1929 dengan crash pada 1987 adalah bahwa yang pertama diikuti dengan bear market adalah kondisi makro ekonomi yang lemah.

Jika investor mencoba menerapkan strategi “membeli jika ada darah di jalan,” pertama kali ia harus yakin bahwa pasiennya sedang dirawat dengan baik dan akan segera pulih. Jika pasien terus berdarah maka kemungkinan besar sembuhnya lama atau bahkan bisa mati. Ini yang terjadi di NYSE setelah crash 1929 dan di BEJ selama pertengahan kedua 1997. Pada saat seperti ini, maka “darah” bukan merupakan indikasi bagus bagi investor untuk membeli.

Anjuran ini juga berlaku bagi saham individual. Jika satu saham mendadak mengalami penurnan tajam bukan karena terdorong pasar, perusahaan tersebut mempunyai masalah serius dan bisa jadi tidak akan pulih. Jika ada investor yang memilih saham tersebut untuk investasi, maka penting baginya untuk mengenal kemampuan perusahaan untuk pulih mengenal perkembangan inidustri dimana perusahaan tersebut bergerak. Ada saham yang turun tajam karena isu. Tetapi sepanjang isu tersebut tidak mempengaruhi fundamental, maka emiten tersebut dapat mudah pulih. Jika penurunan harga adalah karena fundamentalnya yang melemah, mungkin harga saham tersebut terus menurun.

Read More......

Unit Link, Asuransi Sekaligus Investasi

Dalam lima tahun terakhir, produk asuransi unit link telah menjadi idola baru. Kenapa unit link begitu mempesona? Sampai-sampai hampir sebagian besar perusahaan asuransi kini lebih menjadikannya sebagai bintang produknya.
Unit link adalah produk asuransi jiwa yang dikaitkan dengan investasi (unit-linked). Dengan unit link selain memberikan perlindungan jiwa, nasabah juga punya kesempatan berinvestasi seperti di saham, obligasi atau pasar uang yang mungkin selama ini sulit dimasuki oleh investor.

Biasanya unit link ini adalah program investasi untuk jangka panjang. Selain membayar premi dana yang disetor ke perusahaan asuransi akan digunakan untuk investasi.

Unit link kebanyakan menggunakan polis asuransi tunggal, yakni nasabah harus membayar dulu sebelum proteksinya dimulai.

Premi setiap polis asuransi unit link dibagi menjadi berbagai komponen dan semua biaya dikategorikan. Seperti biaya polis, biaya awal, biaya mortalita, biaya investasi dan jumlah yang disisihkan untuk investasi secara spesifik tertera didalam polis unit link.

Dana unit link yang digunakan untuk investasi biasanya disalurkan ke saham, obligasi, deporsto bank atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI).Kemudian nasabah bisa memilih investasi apakah ke pendapatan tetap atau obligasi, campuran (saham dan SBI) atau saham seluruhnya.

Jika pada asuransi biasa, semua dana dikelola perusahaan asuransinya. Maka pada unit link dana investasinya dipisahkan dengan dana pertanggungan untuk klaim nasabah. Dana klaim nasabah dikelola oleh perusahaan asuransi, sedangkan dana investasi dikelola oleh manajer investasi yang terpisah.

Model investasinya mirip dengan reksa dana yang dana nasabahnya diwakilkan dengan unit penyertaan sesuai dengan besarnya dana yang diinvestasikan. Sehingga nasabah berinvestasi dengan cara membeli unit penyertaan.

Pemegang polis akan mendapatkan jumlah unit yang biasanya harga awal unit itu Rp 1.000. Harga unit terus berubah mengikuti harga pasar. Sehingga dana yang dipegang olehn nasabah jumlah unit kali harga unit.

Nasabah bisa melihat pergerakan harga itu dalam NAB (Nilai Aktiva Bersih) yang setiap hari diumumkan di koran. Misal 1 unit seharga Rp 1.000 kemudian dalam lima tahun 1 unit menjadi Rp 3.500, itu artinya investasi di unit link itu telah naik 250%.

Semakin banyak premi yang dibayarkan oleh pemegang polis maka semakin besar investasi yang ditanamkan.

Biasanya di sejumlah perusahaan investasi perbandingan pembayaran klaim akan lebih besar dibanding investasi pada lima tahun pertama. Selanjutnya kebalikannya.

Perusahaan asuransi yang menawarkan unit link saat ini kebanyakan premi bisa dijangkau masyarakat mulai Rp 300 ribu untuk jangka waktu 20-35 tahun.

Investasi di unit link juga tidak selamanya naik, karena harga per unit mengikuti pergerakan pasar. Kadang nilainya turun atau bisa lebih tinggi. Perusahaan asuransi juga tidak bertanggung atas penurunan atau kenaikan nilai per unit.

Read More......

Mengamati Sekuritas Afiliasi dengan Emiten di BEI

Tips : Jika sekuritas tersebut tiba – tiba melakukan transaksi pembelian dalam volume besar dengan frekuensi kecil dibanding dengan sekuritas lain.

Maka, saham yang dibeli sekuritas tersebut layak dikoleksi.

Contoh : PT. Danatama Makmur Sekuritas dengan Grup Bakrie (BUMI, UNSP, BTEL, BNBR, ENRG, ELTY)

Read More......

Tren Adalah Temanmu, Ikutilah !

Untuk sukses bermain saham sebaiknya investor mengikuti nasihat Marty E. Zweig, seorang chartist, penerbit newsletter dan pengelola reksadana. Salah satu nasihatnya adalah : jangan melawan tren. Konsep di belakang nasehat ini telah diketahui umum jauh sebelum ia mengungkapkannya, tetapi Zweig yang menyederhanakannya.

Istilah yang digunakan Zweig untuk menyebut tren adalah tape, lembaran kertas tipis yang digunakan sebagai bahan baku “newsletter” oleh tiga reporter – Charles Henry Dow, Edward Jones dan Charles Bergstresser – dalam melaporkan perkembangan harga saham di Wall Sreet, saat mereka mendirikan Dow Jones & Co pada 1882. Lembaran – lembaran tape tersebut berisi data perkembangan pasar dan harga saham individual dalam bentuk kode dan diedarkan langsung oleh kurir kepada para pelanggan, yakni eksekutif bisnis dan investor di kawasan Wall Sreet. Newsletter inilah yang menjadi cikal – bakal koran The Wall Street Journal. Dow Jones kini masih menyebarluaskan data yang sama, tetapi transmisi berita dilakukan secara elektronis.

Istilah tape kini mengacu pada tren ayang sedang berlangsung di pasar secara keseluruhan atau tren harga saham individual. Melawan the tape berarti berinvestasi melawan tren yang sedang berlangsung. Sebelum melihat apa bahayanya melawan tren, kita lihat dahulu apa itu tren.

Tren Pasar

Pasar finansial, termasuk pasar saham, bergerak tidak linear, tetapi mengalami zig-zag sepanjang waktu. Harga akan bergerak ke atas kalau lebih banyak investor daripada pembeli. Begitu sebaliknya. Namun demikian, pasar bergerak mengikuti pola tertentu yang relative teratur. Pola pergerakan pasar inilah yang disebut tren. Ada dua arah tren dasar, yakni tren kenaikan (uptren), tren penurunan (downtrend) dan situasi di mana pasar bergerak mendatar (sideways).

Oleh para analisis teknikal, tren pasar ditunjukkan dengan membuat garis trendline, yakni yang menghubungkan titik – titik yang mewakili harga penutupan saham atau yang mewakili level saham rata – rata atau indeks. Sebuah tren harga mencerminkan pertempuran antarinvestor dalam melakukan jual beli saham. Jika sentimen investor favorable maka harga saham naik. Kenaikan harga akan berlangsung sampai sentimen dan aksi mereka berubah haluan. Meskipun sebuah saham sudah naik di atas nilai intrinsiknya (atau melebihi ekspektasi seseorang), namun jika sentimen pembeli masih tinggi, maka harga dapat naik lebih tinggi lagi.

Tren pasar dan tren harga saham individual dapat menjadi bagian penting dalam analisa investasi. Para analisis teknikal dan pialang melihat dengan tekun. Bahkan analis fundamental pun memperhatikan tren untuk melihat kekuatan dan arah pasar.

Tiga tren Ala Dow

Upaya melihat tren pasar modal mulai dilakukan oleh Charles Henry Dow. Dia tidak menulis buku khusus tentang masalah ini, tetapi ia menuliskannya dalam editorial di koran yang didirikannya, The Wall Steet Journal. Dia mengumpamakan pergerakan pasar saham dengan ombak yang menyapu pantai. Dengan menempatkan tongkat di pantai, orang dapat mengatakan apakah ombaknya datang atau pergi dan berapa kekuatan ombak yang datang dan pergi tersebut berdasar jarak tongkat dengan lidah ombak. Gagasan Dow ini dikembangkan oleh penerusnya di Dow Jones dan tetap dipakai hingga sekarang.

Charles Dow menbagi tren pasar menjadi tiga : tren primer atau major, tren sekunder (intermediate), dan tersier (minor). Tren tersier adalah pergerakan pasar modal harian (tren tersier) yang berlangsung kurang dari tiga minggu. Tren jangka panjang (tren primer) menunjukkan arah pasar secara keseluruhan untuk periode waktu yang cukup panjang., setahun atau lebih. Tren sekunder adalah tren jangka pendek, tiga minggu sampai beberapa bulan, yang menunjukkan satu rekas atau gerakan yang berlawanan arah dengan tren primer.

Tren berguna bagi investor untuk melihat kekuatan atau kelemahan pasar. Hanya saja masalahnya adalah sulit untuk mengetahui apakah sebuah sebuah perubahan harga berarti signal perubahan tren atau pemunculan satu tren sekunder. Berapa lama data yang diperlukan untuk membuat tren primer. Umumnya waktu 18 bulan cukup memadai untuk membentuk tren primer. Jika tren primer dibuat, maka tren sekunder mudah dicari.

Secara klasik, garis tren akan valid kalau menyentuh tiga titik tertingi (untuk tren penurunan) atau tiga titik terendah (untuk tren kenaikan). Semakin banyak titik yang bersinggungan dengan garis tren, maka semakin kuat tren tersebut.

Investor yang mengetahui tren mempunyai keuntungan mengetahui apakah pasar kuat atau tidak. Misalnya indeks turun 10 poin atau 30 poin dalam beberapa hari, tetapi setelah itu cepat pulih. Ini berarti tren belum berubah arah. Kelemahan pasar terlihat jika harga menembus garis tren, satu situasi yang mungkin dapat mengarah ke perubahan arah. Tetapi kadang – kadang ada sinyal palsu, berupa pergerakan harga yang menembus garis tren tetapi hnaya sebentar dan segera kembali ke tren semula.

Harga dapat bergerak mendatar di antara tren – tren yang sedang berlangsung. Ini bisa terjadi karena di pasar modal terdapat banyak sekali investor yang masing – masing mempunyai pertimbangan sendiri – sendiri. Sering kali investor mengambil posisi menunggu sampai ada orang lain membuat gerakan. Kelompok investor ini kemudian melakukan aksi sehingga menggerakkan pasar. Pada saat itu mungkin kelompok lain terbentuk dan mengambil aksi yang berlawanan arah dengan keyakinan kelompok pertama. Kedua kelompok ini saling bertransaksi dan sepanjang jalan mereka mendapat atau kehilangan dukungan. Para pemain akan mencari informasi atau apa saja untuk mendukung kepercayaannya.

Tren Harga

Sebuah tren harga mewakili sentimen investor dalam melakukan jual beli saham. Jika sentimennya favorable harga saham naik sampai sentimen dan aksi mereka berubah haluan. Meskipun sebuah saham sudah naik di atas nilai intrinsiknya (atau melebihi ekspektasi seseorang), namun jika sentimen pembeli masih tinggi harga dapat naik lebih tinggi lagi. Sentimen beli muncul karena ada antisipasi investor tentang laba dan kenaikan harga yang akan berkembang.

Ketika harga saham mengalami lonjakan tidak seperti biasanya, investor yang skeptis akan merasa bahwa saham tersebut “overbought” dan mulai menjualnya untuk menikmati gain. Pada saat itu mungkin bear mulai masuk pasar dengan melakukan short sell, yakni menjual saham yang tidak mereka miliki dengan harapan harga akan jatuh. Kalau harga jatuh mereka akan membeli dan menikmati selisih harganya.

Satu hal yang perlu diingat oleh investor, khususnya pelaku short seller adalah bahwa saham dapat meningkat melebihi valuenya (yang didasarkan pada laba). Ini berarti bahwa kenaikan tajam tidak selalu diikuti dengan koreksi atau jatuh kembali. Melakukan short sell mendekati puncak dapat seperti melompat ke depan kereta yang bergerak. Momentum dan munculnya investor baru yang mengikuti tren yang sedang berlangsung dapat mendorong harga lebih ke atas lagi. Dengan kata – kata Zweig : Melawan tren adalah undangan terbuka ke bencana. Karena kenaikan harga tidak terbatas, maka kerugian short seller juga dapat tidak terhingga.

Caveat Emptor

Meskipun ada strategi khusus yang digunakan oleh kontradian untuk berinvestasi melawan tren, pendekatannya memerlukan banyak analisis dan resikonya sangat besar. Bahkan kontradian melihat tanda – tanda akan adanya perubahan arah sebelum mereka mengambil aksi. Biasanya strategi yang lebih efektif adalah mengamati tren primer dan berinvestasi dalam arahnya.

Dalam pasar yang kuat, harga saham akan terus meningkat, meskipun pasar sekali – sekali mengalami koreksi (ada tren sekunder). Meskipun harga saham bergerak jauh melampaui dukungan laba, pasar, dan ekonomi, saham tidak selalu layak dijual atau dijadikan obyek short selling. Sebetulnya, dalam situasi pasar yang kuat, penurunan harga dapt menjadi peluang beli yang bagus.

Jika IHSG turun cukup signifikan dalam beberapa minggu secara berturut – turut dari posisi puncak, kemungkinan besar itu adalah sinyal adanya bear market. Untuk menyakinkannya, investor dapat menunggu adanya sinyal stabilisasi harga seperti ditunjukkan oleh adanya volatilitas harga dan konfirmasi tren yang melemah. Dalam teori Dow, volume transaksi dapat digunakan untuk melihat kekuatan sebuah tren. Kalau tren kenaikan harga diikuti kenaikan volume, maka tren tersebut kuat dan kemungkinan akan terus berlanjut.

Namun demikian perlu diingat bahwa tren dapat berubah. Tanda – tanda perubahan arah dapat dilihat dari sisi teknis, seperti harga gagal mencapai puncak tertinggi baru atau penurunan dalam volume perdagangan, dan dari aspek fundamental seperti pertumbuhan laba yang rendah misalnya karena memburuknya makro ekonomi.

Read More......

Pantaulah Saham Dengan Baik

Berinvestasi bukanlah event sekali jadi, tetapi rangkaian proses berkesinambungan. Dan pembelian saham bukanlah langkah akhir dari proses investasi. Sebaiknya saham-saham yang sudah dibeli dipanatau secara periodik untuk melihat kinerjanya. Dari pantauan tersebut investor dapat menentukan follow-up apakah akan tetap memegang, menukar dengan saham lain atau bahkan melepas sama sekali.

Langkah lanjutan dapat dilakukan karena berbagai alasan, mulai dari perubahan kondisi keuangan nasabah, tujuan sudah tercapai, hasil investasi tidak sesuai harapan atau karena ada pilihan lain yang menarik. Sering kali faktor psikologi juga turut menentukan, misalnya merasa tidak nyaman melihat pasar yang berfluktuasi lebih tajam daripada biasanya.

Terlalu Banyak Informasi, Terlalu Sedikit Waktu

Mengikuti perkembangan perusahaan dan harga saham dapat menjadi kegiatan menarik dan menyenangkan. Namun sebaiknya aktifitas tersebut bisa jadi proses yang melelahkan dan membuat frustasi. Pasalnya, banyak sekali informsi yang harus dicerna, sedangkan waktu yang tersedia sangat terbatas. Sumber informasi berlimpah, mulai dari koran, majalah, hasil riset perusahaan efek dan publikasi lain, termasuk di internet. Semua informasi tersebut harus dicerna secara seksama agar dapat diperoleh kesimpulan yang benar dan membuat keputusan investasi yang tepat.

Dalam memantau saham, apalagi kalau sampai melakukan penyesuaian, investor harus mengikuti perkembangan usaha emiten dan faktor lain yang mempengaruhi perkembangan emiten tersebut. Selain itu, investor harus mempelajari dengan saksama apa yang terjadi di pasar modal dan kondisi makro ekonomi dan pendapat yang berkembang tentang perkembangan pasar.

Untuk dapat menjadi terampil dalam mellilhat atau merunut saham, orang harus mempunyai pengalaman langsung. Orang dapat belajar lebih banyak dengan memiliki satu saham selama 2 minggu daripada hanya mengamati saham selama 2 tahun. Alasannya jelas, yakni kepemilikan membuat investor terbuka ( exposed ) pada risiko. Risiko kehilangan uang dan juga potensi memperoleh gain, akan meningkatkan perhatian seseorang. Dengan memiliki sahamnya maka informasi tentang perusahaan dan perubahan harga menjadi magnet bagi perhatian investor. Kelegahan sedikit bisa berati uang melayang. Ini berbeda dengan mereka yang mengamati pasar modal bukan untuk tujuan investasi, tetapi seperti melihat pertandingan sepakbola. Mereka menikmati apa yang dilakukan pelaku pasar, tetapi tidak akan rugi apapun hasil pertandingannya.

Beberapa Saham Mungkin Lebih Bagus

Ada nasihat bagus dari S.A. Nelson tentang cara memantau saham “ lebih baik mengikuti beberapa saham dengan baik daripada mengikuti banyak saham.” Nelson adalah seorang investor, teman Charles Dow. Dari pengalaman dan pengamatannya, Nelson menulis dan menerbitkan buku the A.B.C of Stock Speculation.

Menurut Nelson, ada kalanya investor mempelajari emiten sebelum memutuskan membeli dan memantau perkembangan emiten selama beberapa minggu pertama setelah membeli. Setelah itu perhatian yang diberikan tidak lagi intens dan investor kehilangan antusiasme untuk tetap mengamati saham tersebut. Sebaliknya, investor yang dapat menjaga antusiasme kebanyakan akan kelebihan informasi sehingga sulit melakukan analisa, kalau mereka harus memantau banyak saham. Tetap mengikuti event-event banyak emiten yang terus berubah dengan cepat menjadi mustahil. Menurut pengamatan Nelson, akan lebih menguntungkan bagi investor untuk memiliki beberapa saham saja, yang mempunyai fundamental bagus dan dipilih secara saksama, dan dapat diamati secara detil daripada memiliki banyak saham dan kelebihan informasi sehingga sulit mencernanya.

Berapa jumlah saham yang sebaiknya dipegang investor agar dapat dipantau dengan baik? Menurut Nelson jumlahnya tidak penting, masalahnya adalah bagaimana investor bisa mengikuti perkembangannya.

Penggerak Harga Saham

Selain memantau kinerja emiten, investor sebaiknya juga memantau perkembangan harga pasar saham di pasar agar dapat mengambil manfaat maksimal dari perubahan harga. Untuk itu investor perlu mengetahui beberapa faktor penggerak harga saham. Apa saja faktor penggeraknya? Pada hakikatnya harga saham dapat bergerak karena tiga pengaruh.

Pertama, arah dan kekuatan pasar. Ada saatnya harga saham bergerak sesuai dengan arah dan kekuatan pasar. Saham emiten yang kuat fundamental dan disukai public kadang-kadang dapat turun harganya jika pasar secara keseluruhan turun. Begitu juga, saham yang kurang bagus akan terangkat di pasar yang sedang booming. Masalahnya adalah bahwa arah dan kekuatan pasar sulit ditebak.

Arah pasar dapat berubah karena ada perubahan indicator makro seperti suku bunga, laju inflasi, dan indicator makro lainnya. Meski demikian, faktor-faktor non ekonomi yang tidak mendukung, seperti instabilitas politik dan kekacauan sosial dapat mempengaruhi pasar. Kedua faktor inilah yang paling banyak dijadikan alasan mengapa arah pasar di Indonesia selama 1998-2000 tidak kunjung bergerak naik meskipun berbagai indicator makro mendukung adanya rebound dari tren penurunan yang telah berlansung sejak pertengahan 1997.

Kedua, tema investasi. Di antara faktor penggerak pasar maka yang paling sulit didefinisikan adalah sentiment. Dengan alasan tidak jelas, kadang-kadang investor merasa senang saham tertentu dan memutuskan untuk membelinya. Sebaliknya, karena alasan lain investor merasa enggan bertransaksi dan cenderung menjual.

Saham atau kelompok saham yang mendapat sentiment psitif disebut dengan istilah “play”. Pengelompokan saham ini umumnya berdasar industri. Misalnya, dalam suatu sesi investor secara aktif memperdagangkan saham PT Fajar Surya Wisesa, karena ada berita bahwa PT Kiat Pulp&Paper, yang sama-sama di sektor pulp/kertas, melakukan corporate action. Begitu juga, ketika bank tertentu dilikuidasi maka saham sektor perlahan dijauhi investor.

Tema investasi bisa jadi tidak diklasifikasikan berdasar sektor, tetapi berdasar nilai kapitalisasi saham, apakah blue chip, saham garis kedua ( second liners )dan seterusnya. Dengan demikian, tidaklah jarang untuk mendengar atau membaca berita : saham hari ini bergerak karena pembelian di saham blue chip.

Ketiga, antisipasi laba. Harga saham akan bergerak sejalan dengan pertumbuhan laba emiten. Tetapi trik dagangya adalah antisipasi pada laba, bukan dari kenaikan laba secara spesifik. Jika ada perkiraan bahwa PT BCD tahun tertentu meningkat ( kadang ada laba kejutan, yakni diatas perkiraan ) harga akan naik dengan segera. Jika fakta kenaikan menjadi jelas, misalnya diumumkan di media massa, harga malah dapat turun. Atau kalaupun tidak, investor yang membeli pada poin ini sebenarnya memperoleh harga yang sudah membengkak. Ketika kejutan laba positif dapat mendongrak harga, laba yang di bawah perkiraan dapat menekan harga ke bawah.

PER

Besarnya laba yang dicapai perusahaan tidak menunjukkan nilai perusahaan. Salah satu cara singkat yang mudah digunakan untuk mengukur nilai perusahaan pada saat tertentu berdasar laba yang dicapainya adalah Price-to earning ratio ( PER ), yang dihitung dengan membagi harga saham di pasar dengan laba bersih per saham. Meskipun konsep ini mempunyai validitas, penggunaan analisa ini hendaknya tidak dilakukan secara insidentil, misalnya dalam tahun tertentu. Sebaiknya, PER sekarang dibandingkan dengan level PER beberapa tahun sebelumnya. Ini untuk menghindari adanya perubahan harga saham yang tidak didukung oleh laba, atau ada perolehan laba per saham yang indisential seperti menjual asset.

Selain itu perlu juga PER tersebut dibandingkan dengan rata-rata pasar dan terutama rata-rata perusahaan sejenis. Dari perbandingan tersebut investor dapat menentukan apakah PER saham tertentu terlalu tinggi atau lebih rendah. Secara umum dikatakan bahwa PER lebih rendah mengindikasikan murahnya harga saham, sehingga layak untuk dibeli. Namun demikian, ada kalanya investor tetap membeli saham yang memiliki PER tinggi kalau investor tersebut percaya pada potensi perkembangan beberapa tahun kemudian.

Dalam mengamati PER, investor harus jeli karena PER mungkin dihitung dengan cara yang tidak sama. Formula dasarnya memang sama : harga pasar per lembar dibagi dengan laba per saham. Tetapi perhitungannya ada yang menggunakan laba per saham tahun yang telah dilalui ( PER Historis atau juga PER actual ), ada yang menggunakan laba per saham yang diperkirakan akan dicapai tahun berjalan ( PER prospektif ). Pada umumnya, riset yang dibuat analis saham mencamtumkan kedua PER prospektif, dan PER actual dalam beberapa tahun ke belakang. Lihat ilustrasi di bawah

Finansial record and forecast







Y/E December

1992

1993

1994

1995

1996

1997E

1998E









Net profit ( IDR bln )

121.9

90

154.1

168.6

264.6

430.5

633.5

EPS ( IDR )

93

69

80

224

102

119

133



-26%

17%

181%

-54%

16%

12%

CEPS ( IDR )

127

123

127

303

169

201

207

BVS ( IDR )

1,073

1,142

924

1.228

1,201

1,604

1,322

DPS ( IDR )

19

0

25

35

35

35

35









PER ( X )

15.4

20.9

17.9

6.4

14

12.1

10.8

PCER ( X )

11.3

11.7

11.3

4.7

8.5

7.1

6.9

PBV ( X )

1.3

1.3

1.6

1.2

1.2

0.9

1.1

YIELD

1.30%

0.00%

1.70%

2.40%

2.40%

2.40%

2.40%

Caveat Emptor

Membaca informasi dari media massa memberi seseorang gambaran tentang emiten dan pergerakan sahamnya. Namun investor hendaknya waspada dengan opini atau perkiraan yang dibuat oleh para pelaku pasar. Pertama, opini tentang prospek emiten atau kekuatan pasar. Pertama, opini tenang prospek emiten atau kekuatan pasar bisa berbeda antara satu analis dengan analis lain. Hal ini tergantung pada sedikit banyaknya informasi yang mereka pakai untuk membuat kesimpulan. Perkiraan tentang PER misalnya seringkali hampir aakurat, tetapi lebih sering harus dihitung ulang karena ada perubahan yang secara signifikan mempengaruhi kinerja emiten.

Lebih dari itu, para pelaku pasar sering kali membuat komentar yang bernada sangat optimis. Misalnya mereka mengatakan bahwa arah pasar akan rebound dari tren penurunan yang berlangsung. Tujuan investor melakukan transaksi, dari mana akhirnya perusahaan efek tempat mereka bekerja dapat menikmati fee transaksi. Cara aman untuk menghindari pandangan yang terdistorsi ini adalah dengan mencari pendapat kedua, ketiga atau bahkan keempat.

Read More......

Menakar Makna Investasi

Untuk lebih menjamin bahwa untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, investor akan mencari cara untuk meningkatkan peluang memperolehnya dan mencari cara untuk menurunkan resiko. Cara apa yang dilakukan untuk menurunkan resiko investasi di saham?

Ada sebuah anjuran konvensional untuk menurunkan risiko investasi tyang masih valid sampai sekarang: diversifikasi. Peribahasa “jangan menaruh telur di satu keranjang” menjadi populer dikalangan dunia investasi. Masalahnya kemudian adalah bagaimana menerapkan diversifikasi ini dan seberapa diversifikasi harus dilakukan.

Apa Itu Diversifikasi dan Apa Yang Dilakukan

Diversifikasi portofolio adalah menempatkan asset ke dalam berbagai instrument investasi yang berbeda dengan tujuan meningkatkan peluang laba yang lebih besar dan melindungi kerugian. Kita ambil contoh hipotesis: seorang investor mempunyai dana Rp 100 juta yang ingin diinvestasikan di saham. Stategi konvensionalnya adalah dengan menggunakan uang tersebut untuk membeli beberapa, katakanlah 10 jenis saham.

Dengan memegang 10 jenis saham, maka investor mempunyai peluang yang lebih besar untuk memperoleh gain dan menghindari resiko penurunan harga atau masalah fundamental dari satu atau dua perusahaan. Kalau ada satu atau dua yang menunjukkan kinerja yang jelek karena kelemahan fundamental emiten, delapan atau sembilan sisanya masih memberikan hasil yang bagus. Lalu, bilamana memerlukan sebagian dananya, investor dapat menjual saham yang dalam posisi baik dan membiarkan saham lain yang sedang menurun karena fluktuasi pasar untuk pulih. Bayangkan kalau investor tersebut hanya membeli satu atu dua saham dan ketika akan menjualnya, kedua sham sedang menurun harganya, entah karena fundamentalnya yang melemah atau karena terseret oleh tren pasar yang sednag menurun.

Melakukan diversifiksi asset, yakni dengan membeli 10 jenis saham dengan seksama adalah cara melakukan diversifikasi. Tetapi aksi ini akan menjadi kurang signifikan kalau kesepuluh saham tersebut bergerak di satu sektor, misalnya saham sektor manufaktur semua. Karena bergerak di satu sektor, maka bilamana sektor tersebut sedang dilanda masalah, misalnya kondisi bisnis yang tidak meguntungkan, maka kesepuluh saham tersebut akan kena imbasnya semua.

Oleh karena itu, sebaiknya investor melakukan diversifikasi atau kelompok asset. Dalam hal ini, investor bisa membeli 10 saham dari beberapa sektor, misalnya 2 saham manufaktur, 2 saham teknologi informasi, 2 saham sektor perbankan, 2 saham sektor konsumsi, dan 2 saham sektor telekomunikasi dan 2 saham sektor pertambangan. Strategi ini diperlukan karena fakta bahwa sulit menentukan sektor mana pertumbuhan ekonomi yang akan cepat terjadi. Dengan mempunyai lebih banyak tembakan, maka peluang investor menikmati gain akan lebih besar. Berinvestasi saham berbagai perusahaan di bidang yang berbeda menambah peluang berpartisipasi dalam ssektor yang mengalami lonjakan.

Namun demikian, dalam bear market atau resesi ekonomi, diversifikasi tidak akan begitu efektif jika tidak dilakukan secara selektif, misalnya sektor yang kurang berpengaruh atau bahkan diuntungkan dengan resesi. Krisis moneter menunjukkan dengan jelas masalah ini. Perusahaan yang kurang terpengaruh adalah mereka mensuplai produk kebutuhan dasar seperti makanan, utilities, dan bahan bakar. Perusahaan yang diuntungkan antara lain saham perikanan, perkebunan, dan pertambangan.

Diversifikasi Tidak Kalis dari Penurunan Harga

Jika judul bab ini sepenuhnya benar, tentunya reksa dana yang terdivesifikasi akan menjadi investasi yang semurna. Tetapi bukan ini yang terjadi. Meskipun diversifikasi mempunyai nilai sebagai strategi investasi fundamental, tetapi mempunyai batasan.

Krisis moneter telah menunjukkan bahwa diversifikasi tidak menawarkan proteksi seperti yang dikira banyak orang. Banyak orang mengira bahwa dengan manempatkan dananya di reksa dana yang terdiversifikasi dengan baik, maka investor akan terhindar dari kemunduran pasar. Ketika mereka menyadari bahwa hal itu tidak benar, mereka akan kecewa dan keluar pasar. Inilah yang terjadi selama krisis moneter memuncak di Indonesia pada tahun 1998. Waktu itu banyak pemegang unit penyertaan reksadana yang keluar pasar seperti terlihat dari penurunan jumlah akun. Investor yang paham mungkin akan mengurangi nilai investasinya, bukan keluar dari pasar.

Penjualan besar-besaran pemegang unit reksa dana sebaliknya malah membuat situasi menjadi semakin buruk. Ketika investor reksa dana menjual kembali saham meraka, para fund manager tidak mempunyai pilihan lain selain menjual sahamnya di pasar yang sedang jatuh guna membayar kewajibannya kepada pemegang unit penyertaaan.

Berapa Cukupnya?

Satu masalah lain dari strategi diversifikasi adalah dalam menetapkan jumlah. Berapa saham sebaiknya dipegang oleh investor agar strategi diversifikasi menjadi efektif?

Jawaban atas pertanyaan itu akan tegantung pada besarnya dana, waktu yang tersedia, dan kemampuan investor. Seringkali penasihat investasi menganjurkan agar membeli 10 saham di tiga sektor yang berbeda. Namun jawaban ini sering kali tidak dapat diterapkan. Jika dana investor adalah Rp 50 juta, maka membeli 10 saham berarti masing-masing saham adalah Rp 5 juta. Dengan harga saham sekitar Rp 1000, maka investor akan memperoleh masing-masing 1 lot. Kalau harga sahamnya 2000, maka jumlah saham yang diperoleh adalah 5lot. Atau kalau dibalik, untuk membeli 10 jenis saham dari beberapa industri dalam volume yang agak besar maka dibutuhkan dana yang besar.

Masalah lain yang perlu diperhatikan dalam strategi adalah soal rentang kendali. Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan investor dalam menyusun program investasi dan memantau portofolionya adalah terbatas. Diversifikasi yang dibuat sesuai dengan rentang kendali akan membuat investor lebih mudah mengelola dan mengikuti perkembangannya. Selain itu, investor hendaknya juga diperlukan untuk memilih dan manganalisa 10 perusahaan. Bagaimana dengan waktu yang diperlukan untuk memantau kinerja 10 saham di tiga industri? Itu belum lagi melihat perkembangan ekonomi makronya. Padahal, waktu investor ynag tersedia untuk memantau sangat terbatas.

Karena keterbatasan ini investor bisa berpaling ke reksa dana. Dengan membeli reksa dana, maka secara otomatis dana investor akan tersebar ke dalam banyak saham. Kalau unit reksadana tersebut dipegang oleh 100 orang, yang masing-masing dengan nilai investasi Rp 50 juta, maka reksa dana bisa berinvestasi di lebih banyak saham dengan volume lebih besar. Dengan dana yang besar itu akan memenuhi skala ekonomi kalau pengelola reksa dana membayar satu atau beberapa analis saham yang akan bekerja penuh.

Cara Lain Berdiversifikasi

Ada cara untuk melindungi dana dari risiko pasar, yakni dengan melakukan diversifikasi lintas instrument, yakni dengan membeli beberapa jenis instrument. Misalnya, kalau mempunyai sana Rp 100 juta, maka sebagian diinvestasikan di saham, sebagian di obligasi, dan sebagian di bank. Berapa persentase yang sebaiknya akan tergantung kepada tujuan investasinya dan toleransi investor terhadap risiko. Risiko total secara sederhana dapat dikatakan sebagai kumpulan resiko dari masing-masing instrument dan dibagi dengan jumlah instrument yang digunakan.

Berikut ini adalah gagasan untuk melakukan diversifikasi lintas instrument. Pertama, investor menggunakan semua uangnya untuk membeli obligasi pemerintah ( yang dianggap bebas risiko ). Kemudian semua bunga yang diperoleh dari obligasi ini digunakan untuk membeli saham. Jika obligasi ini dipegang sampai jatuh tempo, prinsipalnya tidak kena resiko habis atau berkurang. Kedua, dengan mengambil separo dana yang tersedia untuk investasi di saham dan separuhnya di obligasi yang dirancang agar dananya bisa berkembang dua kali lipat. Jika seluruh portofolio saham menjadi nol ( tidak mungkin kecuali dengan strategi yang sangat spekulatif), investor akan masih mempertahankan prinsipalnya ketika obligasi jatuh tempo. Jelas, ada opportunity cost tinggi di sini, tetapi ini adalah strategi yang valid untuk mempertahankan modal.

Namun, strategi diversifikasi lintas instrument investasi ini masih belum menghapaus risiko yang ada. Ini misalnya terlihat selama Indonesia dilanda krisis moneter, dimana harga saham dan obligasi merosot tajam dan hasil bunga termakan oleh inflasi. Dari sudut pandang ini maka investasi lintas negara menjadi masuk akal, misalnya membeli saham di BEJ dan sebagian di NYSE.

Caveat Emptor

Diversifikasi adalah penting dalam strategi investasi karena dapat berguna untuk menurunkan risiko dan meningkatkan peluang memperoleh hasil yang lebih baik. Adalah penting untuk mengingat bahwa resiko tidak hilang dengan melakukan diversifikasi dengan cara apa saja. Yang lebih penting daripada diversifikasi adalah timing. Masalahnya, di sini tidak ada orang yang dapat menentukan kapan harga akan naik dan turun sampai hal tersebut terjadi. Dengan kata lain, semua investasi ada resikonya, oleh karena itu adalah bijaksana bagi investor untuk sadar perlunya strategi untuk menurunkan resiko tersebut.

Read More......

Potong Kerugian dan Cari Saham Pemenang

Ada pepatah kuno yang tetap berguna dipegang investor sampai sekarang : juallah saham yang mendatangkan kerugian, yakni saham yang sedang menurun harga dan nilainya ( losing stock ). Dengan logika yang sama, maka menjadi masuk akal untuk tetap memegang saham yang tetap memberikan hasil, sepanjang fundamental sahamnya tetap kuat ( winning stock )

Masalahnya adalah bagaimana mengetahui saham mana dapat dikatakan pecundang ( losers ). Apakah sebuah saham dapat dikatakan pecundang hanya karena investor dalam keadaan loss, yakni harga pasar sekarang berada di bawah harga beli?

Memang, setiap penurunan harga adalah situasi yang mendatangkan kerugian bagi investor. Dalam kondisi tertentu investor memang sebaiknya menjual, tetapi dalam situasi lain investor mungkin harus mengamati lebih cermat sebelum memutuskan untuk menjual. Penentunya adalah sebab-sebab penurunan harga. Jika sebab penurunan harga adalah kelemahan dalam seluruh pasar atau fluktuasi harga harian, maka masih akan bisa menjadi pemenang.

Jika sebab penurunan harga tersebut adalah faktor yang akan berdampak pada fundamental emiten dalam jangka panjang, mungkin saat itulah investor harus melakukan cut loss dan ganti portofolio, alias memindahkan dana ke saham lain. Setiap kejadian mempunyai dampak negatif pada laba atau pertumbuhan laba emiten di masa mendatang dapat dengan cepat mengubah saham menjadi pecundang. Faktor yang berdampak untuk jangka panjang ini antara lain: penurunan penjualan, kesulitan perpajakan, masalah-masalah legal, sektor industri yang lesu dan suku bunga yang lebih tinggi. Kalau menjumpai faktor-faktor tersebut, baik investor jangka panjang dan pendek dapat melikuidasi posisinya dan bergerak ke saham lain yang lebih potensial.

Nilai Pertumbuhan Laba

Value, dalam pengertian potensi pertumbuhan, didasarkan pada laba dan pertumbuhan laba. Untuk melihat value sebuah perusahaan calon investor sebaiknya melakukan analisa pendapatan dan mecari informasi lain tentang emiten yang dapat memberikan gambaran tentang kualitas laba. Jika laba diperoleh karena manajemen melakukan PHK atau menjual anak perusahaan atau asset perusahaan, maka kualitas laba tersebut tidak sebagus kalau datang dari peningkatan penjualan. Kalau pendapatan laba diperoleh dari menjual asset, maka investor harus lebih teliti menyelidiki dampak penjualan tersebut. Bisa jadi, penjualan asset ini dapat mengarah pada penurunan lebih lanjut dalam hal produktivitas. Akibatnya potensi pendapatan semakin lemah dan pada gilirannya hal ini akan menekan harga saham. Namun demikian, penjualan asset dapat membuat perusahaan lebih efisien sehingga meningkatkan kualitas laba dan bisa mengarah pada peningkatan harga saham.

Selain itu, calon investor harus menganalisa potensi pertumbuhan perusahaan dan mengamati pergerakan harga saham. Dari analisa tersebut dapat mencapai kesimpulan apakah nilai sebuah saham lebih mungkin naik, tetap datar atau mulai menurun. Dari sinilah kemudian keputusan investasi dibuat.

Tiga Situasi Khusus

Analisa bisa jadi menjadi sulit karena saham pemenang dapat secara temporer tampak seperti pecundang. Dengan demikian penurunan harga saham bukan selalu menjadi sinyal untiuk mulai menjual. Ada tiga situasi yang dapat membuat saham pemenang tampak seperti pecundang. Penurunan harga saham karena itu menjadi pengecualian untuk aturan “ juallah saham pecundang”.

Pertama, fluktuasi harga harian. Harga saham berfluktuasi naik atau turun dalam perdagangan dari hari ke hari. Pandangan sekilas pada grafik harian akan menunjukkan apakah penurunan harga masih dalam kisaran normal dari fluktuasi harian normal untuk saham individual. Harga saham bergerak dari satu kisaran dagang ( trading range ) ke kisaran dagang lain.

Kedua, penurunan pasar. Penurunan signifikan dalam pasar secara keseluruhan dapat menekan harga saham pemenang ke bawah. Semua saham dalam situasi ini tampak seperti atau menjadi pecundang. Yang paling sering, koreksi pasar yang tajam adalah waktu untuk merasa prihatin, tetapi tidak untuk menjadi panic. IHSG bisa turun puluhan poin sehari, tetapi bisa dengan cepat pulih. Saham-saham yang menjadi pemegang sebelum masa koreksi mungkin akan menjadi pemenang jika pasar pulih.

Ketika pasar secara keseluruhan berada dalam tren penurunan, maka harga saham paling bagus pun kemungkinan juga ikut turun. Dengan demikian, bukannya menjadi alasan untuk menjual, penurunan harga pada saham fundamental bagus malah memberikan peluang untuk membeli.

Jika tren terus berlanjut, investor hendaknya mempertimbangkan untuk menjual saham dan berada di pinggir ( sideline ), misalnya dengan memarkir dana di Reksadana Pasar Uang. Jika koreksi pasar terjadi secara mendadak dan tampak akan mengalami stabilisasi dalam beberapa hari, maka strategi terbaik akan mengambil posisi hold atau bahkan mengakumulasi lebih banyak. Kecuali kalau koreksi meluas dan diperkirakan akan bertahan lebih lama, atau saham pemenang akan berubah menjadi saham pecundang karena adanya perubahan bisnis. Salah satu indikasi bahwa koreksi akan meluas adalah kenaikan suku harga.

Ketiga, penurunan harga karena aksi profit taking. Peningkatan harga dalam jumlah signifikan secara mendadak dan bergerak ke kisaran yang baru, yang diikuti kelemahan adalah kejadian yang normal. Jika harga saham naik banyak, banyak investor akan mulai take profit, kenaikan harga tersebut mungkin baru saja dimulai. Sekali lagi, koreksi ini tidak akan membuat saham tersebut menjadi pecundang.

Caveat Emptor

Saham pemegang ( winning stock ) adalah saham-saham perusahaan yang menunjukkan pertumbuhan konsisten dalam penjualan, laba, dan harga. Saham-saham ini umumnya diterbitkan emiten yang memimpin di industrinya dan mempunyai perkembangan produk yang berkelanjutan untuk pasar yang baru atau yang sudah ada. Hal ini membuat penjualannya terus terjaga.

Saham pemegang hendaknya dipegang sampai fundamental yang membuatnya menjadi pemegang mulai melemah atau sampai harganya naik terlalu jauh dari laba ke depan. Kadang-kadang antisipasi dengan cepat melampaui pertumbuhan dan bahkan potensi pertumbuhannya. Jika ada berita tentang melemahnya laba maka harga saham akan tertekan ke bawah dan saham pemenang berubah menjadi saham pecundang. Saham pecundang mengambil uang investor dan oleh karen itu hendaknya dijual dan dilupakan sampai saham tersebut mengalami stabilisasi dan membangun kekuatan fundamental yang diperlukan untuk menjadi pemenang dimasa mendatang.

Read More......

Mengamati Tanggal Stock Split

Tips : Koleksi saham sebelum stock split, karena saham yang setelah stock split, maka likuiditas di pasar semakin besar, sehingga minat investor untuk koleksi semakin besar.

Read More......

Tangani Saham Pecundang Secara Saksama

Ketika membeli saham, investor mengharapkan harganya akan naik. Namun ada kalanya, bukannya naik, harga saham merosot karena satu dan lain hal. Haruskah investor tersebut menjual, memegang, atau malah membeli lebih banyak?

Strategi mengelola saham yang mengalami penurunan harga ( losers ) bukanlah persoalan sederhana. Kadang strategi ini memerlukan penanganan yang saksama, bahkan bila jadi memerlukan riset tambahan. Selain itu, berbagai situasi bisa dijumpai ketika mengelola saham pecundang ini

Situasi apa yang bisa muncul pada saham pecundang ini? Misalnya saja, penurunan haraga berlangsung sangat cepat dan tajam, sehingga menjual saham tersebut tidak menghasilkan dana yang memadai untuk direinvestasikan. Riset tambahan tentang fundamental perusahaan dapat menjadi alasan untuk mengambil tindakan atas saham yang dipegang investor dalam situasi seperti itu.

Penurunan harga secara tajam tidak selalu akibat dari melemahnya faktor fundamental. Meskipun turun drastic, tetapi sebetulnya scara fundamental saham tersebut bisa jadi masih bagus. Berbagai hal bisa mnyebabkan penurunan harga, mulai dari rumor negatif atau situasi temporer lain dapat memukul harga saham sampai undervalued. Pulihnya saham undervalued ini bisa memerlukan waktu beberapa minggu atau bulan atau bahkan lebih dari setahun

Jual Habis dan Reposisi

Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan investor ketika melihat saham yang dipegangnya mengalami penurunan harga adalah waktu yang diperlukan bagi saham tersebut untuk bisa pulih. Waktu sangat penting karena itu berarti potensi profit yang hilang. Sekiranya waktu yang diperlukan untuk pulih adalah lama, maka saham tersebut bisa dijual dan asset diinvestasikan ditempat lain, sehinggga memperbaiki kerugian dan membwa gain baru. Jika investor memegang saham bank yang sedang dalam proses rekapitalisasi, apalagi prosesnya menimbulkan kontroversi, maka sebaiknya investor tersebut melepaskan saham tersebut dan memutar dananya ditempat lain. Pasalnya, proses menuju pemulihan bisa memerlukan beberapa tahun.

Jika keputusan untuk menjual saham sudah diambil, maka keputusan itu harus diambil secepatnya. Dalam hal ini, penentuan waktu (timing) sangat krusial. Saham hendaknya dijual dengan harga pasar terbaik yang ada (market order), bukannya limit sell order. Memang, dengan limit order investor dapat memperoleh harga jual satu atau dua poin lebih tinggi, tetapi menggunakan limit sell order dapat menyebabkan keterlambatan. Aplagi kalau limit sell order lama baru tereksekusi. Timing untuk menjual, sering kali lebih penting daripada maksud untuk memperoleh hasil penjualan satu atau dua poin lebih tinggi dengan limit order.

Beberapa ini adalah beberapa faktor penting lain untuk dipertimbangkan sebelum investor menjual saham pecundang:

· Dapatkah hasil penjualannya direinvestasikan di saham lain? Meskipun membeli saham baru tidak mungkin dilakukan di pasar yang sedang menurun, tetapi dana hasil penjualan dapat diparkir di Reksa Dana Pasar Uang. Idealnya, sebelum memutuskan menjual, investor mempunyai target saham yang akan di beli atau dikemanakan dananya

· Apakah sahamnya mempunyai kinerja yang lebih jelek dibandingkan dengan pasar atau saham sejenis (under performing)? Menjual saham yang underperforming dalam pasar yang mengalami tren kenaikan adalah masuk akal. Setidaknya, investor tidak sulit menemukan saham lain untuk dibeli. Selain itu, kalau di bull market saham tersebut sulit naik, kemungkinan naik di pasar yang bearish lebih kecil lagi

· Apakah pasarnya datar? Dalam pasar yang datar dan atau bearish, investor dapat mempertimbangkan pilihan-pilihan lain, seperti menempatkan dananya dalam investasi temporer seperti saham yang membayar dividen yang bagus atau di pasar uang.

Banyak investor mamakai strategi “ ambil kerugian 10% “. Angka 10% ini, atau mungkin angka lain, menunjukkan potensi kerugian yang siap ditanggung investor. Artinya jika nilai saham yang mereka pegang turun 10%, mereka akan secara otomatis melikuidasi posisinya. Daripada menjual dengan jumlah kerugian yang siap ditanggung seperti ini, lebih baik investor untuk mendasarkan keputusan investasi pada apa yang terjadi atas saham tersebut di pasar. Bila jadi penurunan 10% tersebut sejalan dengan penurunan pasar atau sektor. Strategi “ambil kerugian 10%” sebaiknya digunakan sebagai signal untuk mengamati lebih dekat apa yang terjadi dengan saham tersebut, bukan lantas menjualnya. Gunakan informasi hasil pengamatan ini untuk menjadi alasan menjual.

Sekali sebuah strategi direncanakan, hendaknya dilakukan segera. Menunggu yang terjadi bisa berbahaya. Sedikit investor mempunyai kemewahan untuk duduk dan menunggu pasar selama sesi perdagangan.

Mengambil Posisi Lebih Besar

Ada kalanya muncul situasi dimana menjual saham pecundang bukan merupakan pilihan terbaik. Sebaliknya, seorang investor dapat mengambil posisi yang lebih besar atas saham tersebut. Langkah ini dapat dilakukan kalau investor sedang melihat perubahan arah dalam laba perusahaan dan pemulihan harga. Meskipun kebijaksanaan strategi ini sering diperdebatkan dan spekulatif, tetapi efektif terutama jika investor mempunyai pengalaman yang dalam tentang kekuatan finansial perusahaan dan kemampuanya untuk berkembang.

Langkah ini dilakukan jika penurunan harga terjadi bukan karena melemahnya fundamental perusahaan tetapi karena pergerakan pasar. Dengan fundamental yang sama investor bisa membeli saham yang sama dengan harga murah.

Jual Dulu, Beli Lagi Nanti

Ada saatnya investor lebih baik menjual saham yang sedang menurun harganya. Langkah ini terutama bisa dilakukan kalau penurunan harga secara keseluruhan yang sifatnya agak permanent. Strategi ini bisa dilakukan terhadap saham yang diperkirakan akan memerlukan waktu lama untuk dapat pulih. Ini misalnya saham di sektor siklikal, yang baru saja sedang bergeser dari atas. Nantinya, kalau sektor ini sudah sampai di bawah, investor dapat membelinya lagi.

Strategi ini juga dapat digunakan dalam pasar yang berbalik arah dari tren kenaikan menuju tren penurunan. Nantinya, kalau ada tanda-tanda pasar akan berbalik rah lagi, investor dapat membelinya kembali. Dalam hal ini, investor tentu saja harus mengenal secara mendalam faktor fundamental saham ini dan yakin bahwa perusahaan tersebut mampu bertahan selama penurunan pasar, atau siklus industri. Dangan kata lain, investor harus mempunyai alasan-alasan fundamental untuk mempercayai laba perusahaan akan pulih, tetap stabil, dan terus tumbuh.

Pegang Sambil Menunggu Pulih

Pilihan lain adalah semata-mata memegang saham tersebut dan menunggu harganya bisa pulih. Bisa jadi waktu penantian yang diperlukan akan lama. Namun langkah ini masuk akal jika investasi awal jumlahnya besar dan harganya jatuh banyak sehingga hasil penjualan mungkin tidak cukup untuk diinvestasikan kembali. Jika orang mempunyai banyak saham yang dibeli dengan harga Rp. 1000 perlembar dan kini harganya tinggal Rp. 100 perlembar, mungkin investor akan memegangnya dan mengharapkan yang terbaik.

Salah satu yang dipertimbangkan bila ingin tetap memegang saham tersebut adalah kemungkinan akan adanya akuisisi oleh perusahaan lain dan harga akuisisi berada di atas harga terakhir, atau masih memiliki potensi untuk pulih meskipun lama. Atau kalau tidak, nilai buku saham tersebut di atas harga pasar, sehingga kalau perusahaan dilikuidasi masih akan memperoleh hasil pembagian likuidasi yang lebih besar daripada harga saham.

Namun kemungkinan tersebut tidak ada, ya apa boleh buat : juallah kalau masih ada yang mau membeli.

Caveat Emptor

Banyak investor aktif akan secara otomatis melikuidasi posisinya kalau harganya sudah menurun sebanyak potensi risiko yang siap diambil, apakah 10 dan 15%. Setah itu investor tersebut akan bergerak ke peluang lain. Sebaiknya keputusan untuk menjual tidak didasarkan pada angka, tetapi pada jawaban yang diberikan untuk, setidaknya, beberapa pertanyaan di bawah ini .

· Mengapa saham tersebut menurun harganya?

· Pernahkah saham tersebut pulih dari kondisi serupa di masa lalu?

· Adakah alasan lain untuk menyimpan, atau bahkan membeli lebih banyak?

· Berapa waktu yang dibutuhkan untuk pulih?

Keputusan untuk menambah, menjual, atau memegang saham yang sedang menurun harganya tergantung pada situasi individual. Kalau investor percaya saham tersebut akan pulih dan waktu pemulihan tidah lebih lama daripada time horizonnya investor dapat menahan penurunan harga tersebut. Apa pun hasilnya, jika keputusan sudah dibuat, sebaiknya dilakukan dengan cepat.

Read More......