Membeli Saat Darah Tumpah di Jalan

Di dunia invetasi Barat ada strategi yang berbungi “Buy when there is blood in the street”. Intinya, strategi ini menganjurkan investor untuk membeli saham saat harganya menukik tajam. Strategi ini masuk akal adan banyak professional dan individual sering memndang penurunan tajam pasar modal sebagai peluang beli. Sebanarnya, ini dapat menjadi strategi yang berbahaya.

Pelajaran dari Krisis

Crash 1929 yang disertai dengan depresi ekonomi beberapa tahun sesudahnya dan anjloknya IHSG selama krisis moneter bukanlah waktu yang baik untuk menerapkan strategi “membeli ketika ada darah di jalanan”. Masalah ekonomi serius, yang menyertai penurunan harga saham, mendorong pasar untuk lebih tajam lagi dan memerlukan waktu yang lama untuk bisa pulih. Lamanya proses pemulihan terjadi karena masalah yang dihadapi tidak dapat dengan mudah dibetulkan karena pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki hilang tersapu oleh krisis tersebut.

Masa depresi di AS dan krisis moneter di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada interupsi pertumbuhan ekonomi.Dan kemakmuran yang dicapai penduduk tidaklah permanen. Sejumlah kekayaan keluarga hilang di pasar modal sepanjang bencana ekonomi tersebut, ketika banyak orang percaya bahwa mereka membeli saham pada harga sangat rendah. Setiap kali mereka mengira bottom telah tercapai dan mulai membeli, pasar turun lagi.

Kekayaan orang hilang tidak hanya di pasar modal, tetapi di perbankan juga. Pada waktu itu, banyak bank tutup di seluruh negara kaena banyak perusahaan peminjam yang bangkrut karena krisis. Akibatnya, banyak simpanan masyarakat menguap. Pada waktu itu, di AS belum ada program penjaminan bagi simpanan di bank oleh pemerintah federal. Akibatnya, banyak orang kaya lebih suka menyimpan dananya di bawah bantal untuk menjaga agar tidak hilang.

Crash yang Memberikan Peluang

Ada kalanya, memang penurunan harga saham secara tajam (crash) memberi peluang yang bagus bagi investor. Misalnya, crash yang terjadi pada Oktober 1987. Pada hari itu, Senin 19 Oktober 1987, indeks DJIA turun sebesar 508 poin atau 23%, tertinggi sepanjang sejarah DJIA sampai waktu itu. Pada hari trading sebelumnya, Jumat 16, indeks sudah turun 108 poin. Namun demikian, setelah itu harga saham bisa pulih dengan cepat. Kasus seperti ini mirip dengan penurunan IHSG yang tajam menyusul wafatnya Ibu Tien Soeharto dan Peristiwa 27 Juli, yang dengan cepat kembali pulih ke level smeula dan terus meleset naik.

Caveat Emptor

Kondisi bursa menjelang crash biasanya didahului dengan adanya bull market. Menjelang crash 1929 dan crash 1987, misalnya, terjadi setelah NYSE mengalami bull market selama 10 tahun. Beberapa hari menjelang crash, harga saham mencapai angka tertinggi untuk kedua kasus ini. Begitu juga dengan BEJ mencatat IHSG tertinggi sepanjang sejarah menjelang dilanda krisis moneter. Yang membedakan crash 1929 dengan crash pada 1987 adalah bahwa yang pertama diikuti dengan bear market adalah kondisi makro ekonomi yang lemah.

Jika investor mencoba menerapkan strategi “membeli jika ada darah di jalan,” pertama kali ia harus yakin bahwa pasiennya sedang dirawat dengan baik dan akan segera pulih. Jika pasien terus berdarah maka kemungkinan besar sembuhnya lama atau bahkan bisa mati. Ini yang terjadi di NYSE setelah crash 1929 dan di BEJ selama pertengahan kedua 1997. Pada saat seperti ini, maka “darah” bukan merupakan indikasi bagus bagi investor untuk membeli.

Anjuran ini juga berlaku bagi saham individual. Jika satu saham mendadak mengalami penurnan tajam bukan karena terdorong pasar, perusahaan tersebut mempunyai masalah serius dan bisa jadi tidak akan pulih. Jika ada investor yang memilih saham tersebut untuk investasi, maka penting baginya untuk mengenal kemampuan perusahaan untuk pulih mengenal perkembangan inidustri dimana perusahaan tersebut bergerak. Ada saham yang turun tajam karena isu. Tetapi sepanjang isu tersebut tidak mempengaruhi fundamental, maka emiten tersebut dapat mudah pulih. Jika penurunan harga adalah karena fundamentalnya yang melemah, mungkin harga saham tersebut terus menurun.

Read More......

Unit Link, Asuransi Sekaligus Investasi

Dalam lima tahun terakhir, produk asuransi unit link telah menjadi idola baru. Kenapa unit link begitu mempesona? Sampai-sampai hampir sebagian besar perusahaan asuransi kini lebih menjadikannya sebagai bintang produknya.
Unit link adalah produk asuransi jiwa yang dikaitkan dengan investasi (unit-linked). Dengan unit link selain memberikan perlindungan jiwa, nasabah juga punya kesempatan berinvestasi seperti di saham, obligasi atau pasar uang yang mungkin selama ini sulit dimasuki oleh investor.

Biasanya unit link ini adalah program investasi untuk jangka panjang. Selain membayar premi dana yang disetor ke perusahaan asuransi akan digunakan untuk investasi.

Unit link kebanyakan menggunakan polis asuransi tunggal, yakni nasabah harus membayar dulu sebelum proteksinya dimulai.

Premi setiap polis asuransi unit link dibagi menjadi berbagai komponen dan semua biaya dikategorikan. Seperti biaya polis, biaya awal, biaya mortalita, biaya investasi dan jumlah yang disisihkan untuk investasi secara spesifik tertera didalam polis unit link.

Dana unit link yang digunakan untuk investasi biasanya disalurkan ke saham, obligasi, deporsto bank atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI).Kemudian nasabah bisa memilih investasi apakah ke pendapatan tetap atau obligasi, campuran (saham dan SBI) atau saham seluruhnya.

Jika pada asuransi biasa, semua dana dikelola perusahaan asuransinya. Maka pada unit link dana investasinya dipisahkan dengan dana pertanggungan untuk klaim nasabah. Dana klaim nasabah dikelola oleh perusahaan asuransi, sedangkan dana investasi dikelola oleh manajer investasi yang terpisah.

Model investasinya mirip dengan reksa dana yang dana nasabahnya diwakilkan dengan unit penyertaan sesuai dengan besarnya dana yang diinvestasikan. Sehingga nasabah berinvestasi dengan cara membeli unit penyertaan.

Pemegang polis akan mendapatkan jumlah unit yang biasanya harga awal unit itu Rp 1.000. Harga unit terus berubah mengikuti harga pasar. Sehingga dana yang dipegang olehn nasabah jumlah unit kali harga unit.

Nasabah bisa melihat pergerakan harga itu dalam NAB (Nilai Aktiva Bersih) yang setiap hari diumumkan di koran. Misal 1 unit seharga Rp 1.000 kemudian dalam lima tahun 1 unit menjadi Rp 3.500, itu artinya investasi di unit link itu telah naik 250%.

Semakin banyak premi yang dibayarkan oleh pemegang polis maka semakin besar investasi yang ditanamkan.

Biasanya di sejumlah perusahaan investasi perbandingan pembayaran klaim akan lebih besar dibanding investasi pada lima tahun pertama. Selanjutnya kebalikannya.

Perusahaan asuransi yang menawarkan unit link saat ini kebanyakan premi bisa dijangkau masyarakat mulai Rp 300 ribu untuk jangka waktu 20-35 tahun.

Investasi di unit link juga tidak selamanya naik, karena harga per unit mengikuti pergerakan pasar. Kadang nilainya turun atau bisa lebih tinggi. Perusahaan asuransi juga tidak bertanggung atas penurunan atau kenaikan nilai per unit.

Read More......

Mengamati Sekuritas Afiliasi dengan Emiten di BEI

Tips : Jika sekuritas tersebut tiba – tiba melakukan transaksi pembelian dalam volume besar dengan frekuensi kecil dibanding dengan sekuritas lain.

Maka, saham yang dibeli sekuritas tersebut layak dikoleksi.

Contoh : PT. Danatama Makmur Sekuritas dengan Grup Bakrie (BUMI, UNSP, BTEL, BNBR, ENRG, ELTY)

Read More......